Minggu, 31 Januari 2010

Hadiah Untuk Awan

Oleh: Ali Nurdin

Rambutnya ikal. Wajahnya oval, berkulit putih bersih. Tingginya mungkin sekitar satu meter lebih sedikit. Bahasa inggrisnya cukup mumpuni. Kaca matanya tebal. Secara keseluruhan nilai mata pelajaran di sekolah tidak jelek-jelek amat. Hanya saja, sering kali terlambat masuk. Dan ini pula kenapa beberapa guru merasa tidak cukup sabar mengajarinya. Tapi ... namanya juga anak-anak. Walau pun salah, tetap ia membutuhkan perhatian. Ia juga mendapati dirinya terkena penyakit asma. Hingga suatu saat ayahnya tertimba musibah. Penyakitnya komplikasi. Saya sendiri tidak detail apa penyakitnya. Tapi menurut beberapa sumber memang begitu ceritanya. Sehingga memaksa Ia meminta izin ke Jakarta untuk menemani bapak di rumah sakit. “Katanya sudah koma”.
Dan musibah ini pun berkahir. Tat kala, saya mendapati berita bahwa bapaknya sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit, ia wafat. Saya benar-benar kaget. Mimik saya berhenti sembari berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un”. Sontak suasana kelas menjadi riuh sedih berselimut duka.
Kehilangan salah satu orang tua sejak dini memang suatu pukulan berat. Awan hanya anak kecil yang berusaha menjadi dewasa atas musibah yang sedang dihadapi. Maka hanya al-Fatihah yang dapat saya kirimkan untuk ayahmu. Semoga, amal ibadahnya diterima Allah swt dan yang ditinggalkan, menjadi lebih tegar dan sabar terhadap musibah ini. Amiiin

Belajar Dari Pak Amin

Oleh: Ali Nurdin

Pak Amin merupakan guru Tunanetra SLB-A di Mataram. Beliau juga penyandang tunanetra. Tetapi sikap sungguh-sungguh yang ia miliki tidak menghentikannya untuk terus belajar dan berinteraksi dengan lingkungan. Ramah dan tidak kaku dalam bergaul. Minder pun hampir tidak pernah saya lihat. Kepada siapa pun, beliau mau belajar dan tak sungkan untuk menjadi sumber belajar bagi siapa-siapa yang mau belajar.
Saat ini beliau menakhkodai Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) cabang Mataram. Sebagai bagian tunanetra, tidak hanaya membaca huruf latin dan bahasa Arab yang patut dibaca. Tetapi mampu menguasai bagaimana menuliskannya.
Saya terakhir bulan Juni masih berinteraksi akrab dengan beliau, tak jarang mengantar kemana pun ia mau. Termasuk terakhir mengantarnya ke kantor Gubernur untuk membawa proposal kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) di Bandung.
Selepas sampai di salah satu kantor pemerintahan Mataram, kami dilempar-lempar ke bagian-bagian yang katanya ada tempat yang pas untuk memasukkan proposal. Akibatnya, saya sempat gusar dan tak luput mengumpat para pajabat bawahan yang asyik melempar-lempar kami.
Ditengah kegusaran saya, pak Amin hanya berucap enteng. “Sabar pak Ali, nanti juga ketemu tempatnya.” Ringan dan tenang seraya tidak merasa diperlakukan demikian. Padahal sebagai tunanetra tidak sepantasnya diperlakukan demikian. Ingat loch, beliau merupakan Juara 3 Hafiz Qur’an Tingkat NTB Juli lalu di Dompu. Ia pula yang mengharumkan nama NusaTenggara Barat (NTB) di kancah Nasional dengan menjuarai lomba penghafal Qur’an.
Terlepas dari peristiwa di atas, ada makna yang bisa dipetik. Pertama, membiasakan mengucapkan istigfar, ternyata dapat meredakan kemarahan secepat mungkin. Kedua, sabar dalam mendapat perlakuan apa pun dan dari siapa pun. Apa pun bentuknya. Ketiga, jangan pernah berhenti menyerah.