Oleh: Ali Nurdin
Dua orang sahabat saya tiba-tiba menjadi berang bukan main. Pasalnya, tindakan mereka mendaftarkan diri menjadi PNS mendapat sambutan yang kurang hangat. Terutama Big Bosnya. Sebagai bos, Ia merasa kecolongan atas sikap kedua partner kerjanya. Apalagi banyak ilmu yang sudah diberikan. Khususnya Dirman.
Dirman merupakan partner kerja big bos yang mungkin saja sudah lebih tiga tahun dipimpin. Dirman dipoles menjadi guru yang berani bicara dan kreativ. Bahkan terakhir diberikan beasiswa. Namun karena kasus ini, akhirnya Dirman diminta mengembalikan beasiswa tersebut. Dirman pusing tujuh keliling. Terpaksa ia meminjam uang bokap untuk mengganti. Walau pun pada akhirnya dipinjamkan, Dirman tetap menyesalkan tindakan bosnya. Kenapa harus seperti ini? Apakah salah Ia mencari penghidupan yang lebih menjanjikan? Tentu tidak.
Parahnya, kenapa hal ini diungkap di depan khalayak. Sehingga, Dirman dan temannya, hanya bisa terdiam, malu. Pasrah. Tapi dengan lulusnya sebagai PNS, mereka tidak menyesal sama sekali keluar dari sekolah. Good luck my friend.
Minggu, 14 Februari 2010
Kenapa Mesti Memilih?
Oleh: Ali Nurdin
Setelah tersandung kasus merokok, ternyata berbuntut panjang pada masalah lain. Salah satunya tidak boleh membonceng perempuan yang belum sah miliknya. Hem..saya jadi serba bingung. Dan kebingungan saya pun tiba ketika ... “Numpang dong, saya mau ke kampus. Boleh gak?” pinta salah seorang tetangga. Kebetulan tidak ada yang mengantar. Saya karena merasa iba, dengan senang hati mengijinkan. Namun setelah duduk di jok motor, saya baru ingat bahwa saya sedang dalam masa-masa transisi. Masih dalam pengawasan sekolah. Sebab jika masih membonceng perempuan, maka saya akan segera dipecat. Dengan berat hati saya memintanya untuk turun dan menjelaskan duduk persoalannya. Untungnya perempuan ini mau mengerti. Sehingga saya dengan tanpa dosa meninggalkan begitu saja.
Menolong seseorang apakah dilarang agama Islam? Sebenarnya bagaimana Islam menyingkapi hal ini?
Setelah tersandung kasus merokok, ternyata berbuntut panjang pada masalah lain. Salah satunya tidak boleh membonceng perempuan yang belum sah miliknya. Hem..saya jadi serba bingung. Dan kebingungan saya pun tiba ketika ... “Numpang dong, saya mau ke kampus. Boleh gak?” pinta salah seorang tetangga. Kebetulan tidak ada yang mengantar. Saya karena merasa iba, dengan senang hati mengijinkan. Namun setelah duduk di jok motor, saya baru ingat bahwa saya sedang dalam masa-masa transisi. Masih dalam pengawasan sekolah. Sebab jika masih membonceng perempuan, maka saya akan segera dipecat. Dengan berat hati saya memintanya untuk turun dan menjelaskan duduk persoalannya. Untungnya perempuan ini mau mengerti. Sehingga saya dengan tanpa dosa meninggalkan begitu saja.
Menolong seseorang apakah dilarang agama Islam? Sebenarnya bagaimana Islam menyingkapi hal ini?
Minggu, 31 Januari 2010
Hadiah Untuk Awan
Oleh: Ali Nurdin
Rambutnya ikal. Wajahnya oval, berkulit putih bersih. Tingginya mungkin sekitar satu meter lebih sedikit. Bahasa inggrisnya cukup mumpuni. Kaca matanya tebal. Secara keseluruhan nilai mata pelajaran di sekolah tidak jelek-jelek amat. Hanya saja, sering kali terlambat masuk. Dan ini pula kenapa beberapa guru merasa tidak cukup sabar mengajarinya. Tapi ... namanya juga anak-anak. Walau pun salah, tetap ia membutuhkan perhatian. Ia juga mendapati dirinya terkena penyakit asma. Hingga suatu saat ayahnya tertimba musibah. Penyakitnya komplikasi. Saya sendiri tidak detail apa penyakitnya. Tapi menurut beberapa sumber memang begitu ceritanya. Sehingga memaksa Ia meminta izin ke Jakarta untuk menemani bapak di rumah sakit. “Katanya sudah koma”.
Dan musibah ini pun berkahir. Tat kala, saya mendapati berita bahwa bapaknya sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit, ia wafat. Saya benar-benar kaget. Mimik saya berhenti sembari berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un”. Sontak suasana kelas menjadi riuh sedih berselimut duka.
Kehilangan salah satu orang tua sejak dini memang suatu pukulan berat. Awan hanya anak kecil yang berusaha menjadi dewasa atas musibah yang sedang dihadapi. Maka hanya al-Fatihah yang dapat saya kirimkan untuk ayahmu. Semoga, amal ibadahnya diterima Allah swt dan yang ditinggalkan, menjadi lebih tegar dan sabar terhadap musibah ini. Amiiin
Rambutnya ikal. Wajahnya oval, berkulit putih bersih. Tingginya mungkin sekitar satu meter lebih sedikit. Bahasa inggrisnya cukup mumpuni. Kaca matanya tebal. Secara keseluruhan nilai mata pelajaran di sekolah tidak jelek-jelek amat. Hanya saja, sering kali terlambat masuk. Dan ini pula kenapa beberapa guru merasa tidak cukup sabar mengajarinya. Tapi ... namanya juga anak-anak. Walau pun salah, tetap ia membutuhkan perhatian. Ia juga mendapati dirinya terkena penyakit asma. Hingga suatu saat ayahnya tertimba musibah. Penyakitnya komplikasi. Saya sendiri tidak detail apa penyakitnya. Tapi menurut beberapa sumber memang begitu ceritanya. Sehingga memaksa Ia meminta izin ke Jakarta untuk menemani bapak di rumah sakit. “Katanya sudah koma”.
Dan musibah ini pun berkahir. Tat kala, saya mendapati berita bahwa bapaknya sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit, ia wafat. Saya benar-benar kaget. Mimik saya berhenti sembari berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un”. Sontak suasana kelas menjadi riuh sedih berselimut duka.
Kehilangan salah satu orang tua sejak dini memang suatu pukulan berat. Awan hanya anak kecil yang berusaha menjadi dewasa atas musibah yang sedang dihadapi. Maka hanya al-Fatihah yang dapat saya kirimkan untuk ayahmu. Semoga, amal ibadahnya diterima Allah swt dan yang ditinggalkan, menjadi lebih tegar dan sabar terhadap musibah ini. Amiiin
Belajar Dari Pak Amin
Oleh: Ali Nurdin
Pak Amin merupakan guru Tunanetra SLB-A di Mataram. Beliau juga penyandang tunanetra. Tetapi sikap sungguh-sungguh yang ia miliki tidak menghentikannya untuk terus belajar dan berinteraksi dengan lingkungan. Ramah dan tidak kaku dalam bergaul. Minder pun hampir tidak pernah saya lihat. Kepada siapa pun, beliau mau belajar dan tak sungkan untuk menjadi sumber belajar bagi siapa-siapa yang mau belajar.
Saat ini beliau menakhkodai Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) cabang Mataram. Sebagai bagian tunanetra, tidak hanaya membaca huruf latin dan bahasa Arab yang patut dibaca. Tetapi mampu menguasai bagaimana menuliskannya.
Saya terakhir bulan Juni masih berinteraksi akrab dengan beliau, tak jarang mengantar kemana pun ia mau. Termasuk terakhir mengantarnya ke kantor Gubernur untuk membawa proposal kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) di Bandung.
Selepas sampai di salah satu kantor pemerintahan Mataram, kami dilempar-lempar ke bagian-bagian yang katanya ada tempat yang pas untuk memasukkan proposal. Akibatnya, saya sempat gusar dan tak luput mengumpat para pajabat bawahan yang asyik melempar-lempar kami.
Ditengah kegusaran saya, pak Amin hanya berucap enteng. “Sabar pak Ali, nanti juga ketemu tempatnya.” Ringan dan tenang seraya tidak merasa diperlakukan demikian. Padahal sebagai tunanetra tidak sepantasnya diperlakukan demikian. Ingat loch, beliau merupakan Juara 3 Hafiz Qur’an Tingkat NTB Juli lalu di Dompu. Ia pula yang mengharumkan nama NusaTenggara Barat (NTB) di kancah Nasional dengan menjuarai lomba penghafal Qur’an.
Terlepas dari peristiwa di atas, ada makna yang bisa dipetik. Pertama, membiasakan mengucapkan istigfar, ternyata dapat meredakan kemarahan secepat mungkin. Kedua, sabar dalam mendapat perlakuan apa pun dan dari siapa pun. Apa pun bentuknya. Ketiga, jangan pernah berhenti menyerah.
Pak Amin merupakan guru Tunanetra SLB-A di Mataram. Beliau juga penyandang tunanetra. Tetapi sikap sungguh-sungguh yang ia miliki tidak menghentikannya untuk terus belajar dan berinteraksi dengan lingkungan. Ramah dan tidak kaku dalam bergaul. Minder pun hampir tidak pernah saya lihat. Kepada siapa pun, beliau mau belajar dan tak sungkan untuk menjadi sumber belajar bagi siapa-siapa yang mau belajar.
Saat ini beliau menakhkodai Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) cabang Mataram. Sebagai bagian tunanetra, tidak hanaya membaca huruf latin dan bahasa Arab yang patut dibaca. Tetapi mampu menguasai bagaimana menuliskannya.
Saya terakhir bulan Juni masih berinteraksi akrab dengan beliau, tak jarang mengantar kemana pun ia mau. Termasuk terakhir mengantarnya ke kantor Gubernur untuk membawa proposal kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) di Bandung.
Selepas sampai di salah satu kantor pemerintahan Mataram, kami dilempar-lempar ke bagian-bagian yang katanya ada tempat yang pas untuk memasukkan proposal. Akibatnya, saya sempat gusar dan tak luput mengumpat para pajabat bawahan yang asyik melempar-lempar kami.
Ditengah kegusaran saya, pak Amin hanya berucap enteng. “Sabar pak Ali, nanti juga ketemu tempatnya.” Ringan dan tenang seraya tidak merasa diperlakukan demikian. Padahal sebagai tunanetra tidak sepantasnya diperlakukan demikian. Ingat loch, beliau merupakan Juara 3 Hafiz Qur’an Tingkat NTB Juli lalu di Dompu. Ia pula yang mengharumkan nama NusaTenggara Barat (NTB) di kancah Nasional dengan menjuarai lomba penghafal Qur’an.
Terlepas dari peristiwa di atas, ada makna yang bisa dipetik. Pertama, membiasakan mengucapkan istigfar, ternyata dapat meredakan kemarahan secepat mungkin. Kedua, sabar dalam mendapat perlakuan apa pun dan dari siapa pun. Apa pun bentuknya. Ketiga, jangan pernah berhenti menyerah.
Langganan:
Postingan (Atom)